Waktu sholat untuk Karawang. Widget Jadwal Sholat oleh Alhabib.

Aturan Perdagangan Menurut Nabi



  • Penjual tidak boleh dan menipu pembeli mengenai barang-barang yang dijualnya. Sabda Nabi, "Jika dilakukan penjualan, katakan: 'Tidak ada penipuan'." (18:10).

  • Pelanggan yang tidak sanggup membayar kontan, hendaknya diberi tempo untuk melunasinya. Selanjutnya, pengampunan hendaknya diberikan jika benar-benar ia tidak sanggup membayar. "Seseorang akan dimasukan ke surga karena pernah berdagang di dunia dan menunjukan kebaikan kepada orang-orang, memberi tempo untuk melunasi utangnya, serta membebaskan pembayaran bagi yang sangat membutuhkan." (18: 2).

  • Penjual harus menjauhi sumpah yang berlebih-lebihan dalam menjual suatu barang. Nabi berkata, "Hati-hatilah terhadap sumpah yang berlebihan dalam suatu penjualan. meskipun menaikan pemasaran, ia juga mengurangi berkahnya." (18:3).

  • Penjualan suatu barang menjadi sempurna hanya dengan kesepakatan bersama, atau dengan suatu usulan dan penerimaan. Nabi berkata, "Keduanya tidak boleh berpisah, kecuali dengan kesepakatan bersama." (18: 19).

  • Penjual harus tegas terhadap timbangan dan takaran. Nabi berkata, "Tidaklah suatu kelompok mengurangi timbangan dan takaran, kecuali mereka akan merugi." (26: 359w). Kepada para pemilik timbangan dan takaran, Nabi bersabda, "Sesungguhnya kamu telah diberi kepercayaan dalam urusan yang membuat bangsa-bangsa sebelum kamu dimusnahkan." (18:64).

  • Orang yang membayar dimuka untuk pembelian suatu barangtidak boleh menjualnya sebelum barang tersebut benar-benar menjadi miliknya. Nabi berkata, "Barang siapa membayar di muka untuk suatu barang, jangan biarkan dia menyerahkan barang tersebut kepada orang lain sebelum barang itu menjadi miliknya." (18: 66).

  • Nabi telah melarang bentuk monopoli dalam perdagangan dengan mengatakan, "Barang siapa melakukan monopoli, maka dia seorang pendosa." (18: 67).

  • Harga komoditas tidak boleh ada yang dibatasi. Anas meriwayatkan bahwa pada suatu ketika, pada masa Rasulullah, harga-harga melonjak tinggi. Mereka meminta, "Wahai Rasulullah, batasilah harga untuk kami. Nabi menjawab, "sesungguhnya Allah-lah yang menaikan harga, membatasi, melimpahkan, dan membagikan bantuan makanan." (18: 69). Ini merupakan suatu keputusan dalam menangani masalah perdagangan besar. Jika harga dibatasi, sehingga tidak ada perusahaan dagang dan niaga, perdagangan dunia akan terhenti.

Sumber: https://www.facebook.com/TentangIslamy/photos/pcb.1793361924230305/1793361727563658/?type=3&theater

Mengenal Konsep Mudharabah (Bagi Hasil) Yang Sesuai Tuntunan Syari'ah


Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhoribmemanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:
a. Al-Qur’an:
1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”.(QS. al-Muzzammil: 20)
Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)
 2. Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”(QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)
 b. Al-Hadits:
1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111))
2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan
mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)
cIjma:
Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah(Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))
Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:
  1. Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
  2. Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
  1. Modal.
  2. Jenis usaha.
  3. Keuntungan.
  4. Shighot (pelafalan transaksi)
  5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhahkarya imam Nawawi (5/117))
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
  • Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
  • Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
  • Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
  • Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
  • Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
  • Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
  • Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
  • Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
  • Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
  • Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
  • Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
  • Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. (sumber http://www.mui.or.id)

6. Orang yang mengelola modal harus amanah
  • Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad(terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)
  • Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111)

7. Bila terjadi kerugian siapa yang menganggungnya?
  • Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

8. Pembatasan waktu dan pembatalan usaha mudharabah
  • Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.
  • Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i’u Ash-Shana-i’ VIII/3633)
  • Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).


(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi … Tahun 2010)

Mengenal Konsep Syirkah (Kerja Sama dalam Bisnis) Yang Sesuai Tuntunan Syari'ah


Syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. 

Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
A.    Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
B.     Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
C.    Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasisyirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).
Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (al‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf(pengelolaan harta); (3) obyek akad, disebut juga alma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (alamal) dan atau modal (almâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).
Syirkah ada dua jenis:
Pertama: Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkahseperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794)
Kedua : Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkahseperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkahseperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkahdengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu: (1syirkah al- inân; (2syirkah al-abdân; (3syirkah al-mudhârabah; (4syirkah al-wujûh; dan (5)syirkah al-mufâwadhah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdânmudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inânabdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu,Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).
[1]. Syirkah al-‘Inaan, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.
Jenis syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796).
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modalsyirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).
[2]. Syirkah al-Mudharabah, Yaitu, seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat prosentase tertentu dari keuntungan. (masalah mudharabah telah kami bahas pada Majalah Pengusaha Muslim, edisi 3 volume 1 tgl 15 Maret 2010, rubrik Fikih Muamalah).
[3]. Syirkah al-Wujuuh, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77)
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
[4]. Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha), Yaitu kerja sama antaradua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Syirkah ini kadang-kadang disebut juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr.
[5]. Syirkah al-Mufawadhah, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalamsyirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/259-260).
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
Demikian pembahasan singkat tentang hukum syirkah (kerja sama) dan bentuk-bentuknya dalam bisnis syariah. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-showab. 
(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, edisi … Tahun 2010)

Istilah-Istilah Dalam Fiqh Muamalah


Berikut ini adalah beberapa istilah penting yang sering muncul dalam kajian-kajian fiqih muamalah agar bisa lebih mudah memahami fiqih muamalah :

Akad 
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Ba'i 
adalah jual beli antara benda dengan benda, atau pertukaran benda dengan uang.

Syirkah 
adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan, atau kepercayaan  dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.

Mudharabah 
adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

Muzaraah  
adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan.

Murabahah 
adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.

Musaqah  
adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman dengan pembagian hasil antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang terikat.

Khiyar  
adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untu melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.

Ijarah  
adalah sewa barang dalam dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran.

Istisna  
adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dengan pihak penjual.

Shunduq hifzi ida'/safe Deposit Box 
adalah tempat penyimpanan barang berharga sebagai titipan yang disediakan bank dengan sistem ijarah menyewa/ijarah dengan resiko ganti rugi.

Kafalah  
adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam.

Hawalah  
adalah pengalihan utang dari muhil al-ashil kepada muhal 'alaih.

Rahn/gadai 
adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.

Ghasb  
adalah mengambil hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa berniat untuk memilikinya.

Afsad/perusakan 
adalah pengurangan kualitas nilai suatu barang.

Wadi'ah  
adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

Ju'alah  
adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

Wakalah  
adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.

Mabi'/barang dagangan 
adalah barang-barang yang dapat dipertukarkan.

Saham  
adalah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau badan usaha yang di satukan sebagai bagian dari harta milik bersama.

Obligasi Syari'ah 
adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syari'ah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

Suk maliyah/reksa dana syari'ah 
adalah lembaga jasa keuangan non bank yang kegiatan nya beroreintasi pada investasi disektor portofolio atau nilai kolektif dari surat berharga.

Surat Berharga komersial syari'ah  
adalah surat pengakuan atas suatu pembiayan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari'ah.

Suq maliyah/pasar modal  
adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

Nuqud i'timani/pembiayaan 
adalah penyediaan dana dan atau tagihan berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah dan atau pembiayaan lainnya berdasarkan bagi hasil.

Dain/utang  
adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang indonesia atau mata uang lainnya, secara langsung atau kontinjen.

Hisab mudayyan/piutang 
adalah tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau ijarah berdasarkan akad murabahah, salam, istisna, dan atau ijarah.

Da'in/pemberi pinjaman 
adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau berdasarkan undang-undang.

Mudayin/peminjam 
adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau berdasarakan undang undang.

Waraqah tijariah/surat berharga syari'ah 
adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syari'ah yang lazim diperdagangkan di pasar dan atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi syari'ah, sertifikat reksadan syari'ah, dan surat berharga lainnya, berdasarkan prinsip syari'ah.

Salam  
adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli yang pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pemesanan barang.

Tsaman/harga 
adalah jumlah uang yang harus dibayarkan untuk barang dagangan.

Ta'widh/ganti rugi 
adalah pergantian atas kerugian rill yang dibayarkan oleh pihak yang melakukan wanprestasi.

Lembaga Keuangan syari'ah 
adalah korporasi yang melakukan penghimpunan dana pihak ketiga dan memberikan pembiayaan nasabah, baik bank maupun non bank.

Sunduq jariyat/rekening koran syari'ah  
adalah pembiayaan yang dananya ijarah pada setiap saat dapat ditarik atau disetor oleh pemiliknya yang dijalankan berdasarkan prinsip syari'ah.

 

 Sumber : http://ceramahagamaislamterkini.blogspot.co.id/2016/01/istila-istilah-penting-dalam-fiqih.html